Digital Fortress -Tidak Boleh Ada yang Mengawasi dan Diawasi-


 

Kali ini saya mau nulis soal review buku yang baru beberapa jam yang lalu selesai saya baca nih.. Jarang-jarang saya jatuh cinta sama sebuah karya berbentuk novel. Bukti saya jatuh cinta sama novel tersebut, saya bisa selesai baca kurang dari seminggu. Dan satu diantaranya adalah DIGITAL FORTRESS karya Dan Brown. Yup, buku ini yang membuat otak saya berputar-putar seperti bangun penuh paksaan setelah dihipnotis. Ga perlu panjang lebar, silahkan nikmati review khas Dunia Bond Chan yang nulis sendiri ga pernah berpengalaman nulis review buku. 😀

Cerita dimulai ketika pertarungan pembuatan mega proyek mega komputer milik salah satu intelijen dunia maya paling berkuasa di Amerika : National Security Agency atau disingkat NSA. Demi mengamankan keadaan negara dari serangan teroris, dari serangan oposisi yang berusaha menggulingkan pemerintah, dan juga demi mengamankan pasangan kriptografer yang berniat berselingkuh yang bisa mereka lakukan di dunia maya, diciptakanlah sebuah mega komputer berisi 3 juta prosesor yang bisa menebak sebuah kode sandi paling sulit sekalipun kurang dari sejam.Namanya adalah TRANSLTR. (Tulisannya benar seperti itu, bukan kurang huruf)

Layaknya sebuah kehidupan, tidak pernah tidak ada pro dan kontra. Karena dalam hidup pasti ada angel and demon. Salah satu orang yang menolak gagasan itu adalah Enso Tankado. Salah satu Kriptografer yang dimiliki NSA ini sangat tidak setuju dengan mega komputer itu. Menurutnya TRANSLTR adalah alat yang merusak privasi orang. Dimana setiap orang mempunyai privasi atas hidup mereka. Tak peduli dia pengangguran, dia teroris, dia apa saja, tetap privasi adalah salah satu bagian dari hak asasi manusia.

Suatu ketika wakil direktur NSA memanggil dosen bahasa dari salah satu universitas terbaik di Amerika bernama David Becker untuk mengambil sebuah cincin. Dan jauh sebelum itu tepatnya dua bulan sebelumnya, strathmore sang wakil direktur tersebut mendapatkan sebagian kode yang dia yakini adalah kode menuju sebuah benteng digital, sebuah benteng yang akan mampu mengintip semua hal yang lalu lalang di internet.  Saat David berangkat, dia mencoba kedahsyatan alogaritma dalam bentuk sandi yang dia yakini adalah sebuah benteng digital melalui TRANSLTR milik NSA.

Sebuah virus terendus dari kursi staf ahli direktur NSA. Virus yang memasuki wilayah TRANSLTR itu membuat sebuah komputer berharga jutaan us dollar harus bekerja lebih dari 17 jam!!!!!!! Sementara pencarian cincin rahasia ke sevilla yang hanya stathmore yang tahu, melibatkan David dalam kekacauan dan menjadikannnya target mati untuk impian cinta.

Digital Fortress atau benteng digital. Yah.. Kedua kalinya saya harus bertekuk lutut sambil mau nyembah atas kedahsyatan buku ini. Sungguh sebuah buku berisi beberapa isi jurnal dan buku yang mengobok-obok isi gedung yang gede milik NSA dalam sebuah bentuk cerita yang ga membosankan. Sungguh saya geleng-geleng dan puas dengan buku ini. Beli cuma 80rb (di toga mas) puas!!! Ga ada kecewanya. Kecewa cuma sedikit. Apakah itu? Terlalu cepat selesai bacanya. Jadi saya ga punya buku yang dibaca lagi selain Mahabarata Ramayana yang ampun deh bacanya.

Buku berisi 560 halaman plus beberapa halaman tambahan promosi buku karya Dan brown membuat novel ini cukup berat kalo dibawa di tas. Tapi pembawaan khas Dan Brown tetep khas dan memuaskan. Ditambah bab yang pendek-pendek membuat novel ini cocok untuk yang bosenan tapi juga males buat nyetop karena takut kalo ga inget sebelumnya.

Permainan di buku ini sedikit berbeda, tidak ada si Robert Langdon raja simbologi ciptaan Dan Brown. Yang ada sebagai pemeran utama adalah Susan fletcher sang kriptografer terbaik yang dimiliki NSA. Susan berperan penting dalam buku ini dari awal sampai akhir.

Perjalanan cerita dalam novel ini sih mengambil setting tiga tempat. Pertama di crypto yaitu ruang khusus bagi kriptografer di NSA yang juga tempat TRANSLTR, lalu di Sevilla spanyol, dan yang terakhir di Kantor utama NSA. Kalau berbicara permainan karakter di film ini terasa kurang menggigit memang. Namun seakan kita tidak mempedulikan hal tersebut. Karena kita dipaksa terus membuka halaman berikutnya, dan berikutnya dan berikutnya. Karena nasib para pemain dan pengetahuan tentang kode ada di halaman berikutnya. Jadi seakan enggan untuk terus berlama-lama di halaman yang ada sekarang.

Bentuk permainan detektif dalam buku ini lebih bervariasi dari The Lost Symbol (maklum saya baru baca itu karya Dan Brown). Kalau dalam The Lost Symbol, kita hanya terpusat pada penyelidikan Langdon semata, di sini kita mengikuti jejak kaki David Becker, terjebak dalam teka-teki yang dicampur karakter khas kewanitaan dari Susan dan keganasan cinta dari Strathmore di akhir buku. Jadi dalam buku ini begitu bervariasi dan menegangkan dari tiap babnya.

Secara keseluruhan bisa saya katakan novel Digital Fortress adalah salah satu novel yang membuat saya jatuh cinta. Dan saya benar-benar suka dengan novel satu ini. TOP!! Kalau diberi nilai, saya memberi nilai untuk Digital fortress : 8/10. Pantas buat dibaca buat yang mau menambah pengetahuan dan ingin membuat jantung naik turun selama membaca.

Sampai ketemu lagi di review novel Omerta karya Mario Puzo…!!!! *kalo saya inget buat ngereview* 😀