Melarang Memberi THR, Melarang Membeli Baju Baru


THR atau Tunjangan Hari Raya memang identik dengan Idul Fitri. Meskipun ada THR yang juga diberikan kepada mereka yang non muslim sesuai dengan hari raya masing-masing, namun keidentikan Idul Fitri membuat THR lebih dikenal sebagai seonggok uang yang dikeluarkan oleh sebuah perusahaan kepada pegawainya sejumlah 20-50% dari gaji pokok pada saat hari kerja terakhir sebelum libur lebaran perusahaan tersebut. Tunjangan ini entah dimulai sejak tahun berapa, namun yang jelas sejak saya lahir istilah THR sudah cukup sering saya dengar.

Hubungan THR kalau dilihat dari sisi pengusaha merupakan sebuah penghargaan kepada karyawannya yang telah bekerja selama setahun penuh. Tak jarang ada juga yang beranggapan THR adalah uang untuk tambahan lebaran dan lain sebagainya. Dari segi karyawan sendiri, THR erat hubungannya dengan adanya surplus pada dompet. Berapapun jumlahnya.

Surplus atau sesuatu yang lebih pada dompet pada dasarnya atau pada teorinya haruslah ditabung. -teori anak kecil- Namun bukanlah masalah ketika dewasa kita ga suka menabung, tapi masalah gengsi membuat surplus tersebut mengalir ke penjual baju,celana,alat elektronik,emas, bahkan bisa nyasar ke dealer sepeda motor atau mobil dan persetan dengan kreditannya. Ini memang sebuah hal yang salah. Namun ada yang lebih salah lagi dalam perputaran yang sudah terjadi mungkin sejak Indonesia merdeka. Apa itu? Pemberian THR lah yang menyebabkan perputaran ini terjadi.

Siap berhitung? Mari kita hitung. Jika A setiap bulannya mendapat gaji UMR yaitu Rp 1.330.000 -UMR di Surabaya- pada saat menjelang lebaran, dia mendapat gaji Rp 1.830.000. Uang Rp 1.330.000 itu biasanya cukup untuk makan, transportasi, listrik, air, uanng saku anak, dan satu lagi kreditan sepeda motor. Dengan gajinya itu, dia bisa menabung sekitar Rp 50.000 belum kemungkinan diambil kalau ada kebutuhan mendadak. Pada pengambilan gaji bulan agustus, dia mendapat tambahan Rp 500.000,- Uang itu sendiri sebenarnya bisa untuk tidak diotak-atik sebagai tambahan mudik. Karena dia punya tabungan Rp 50.000 perbulan yang jumlahnya  tidak bisa dipastikan ada Rp 600.000,yang penting cukuplah untuk bensin PP dan kasih ke sanak saudara. Tapi dia bingung, untuk mudik cukup, untuk selama di kampung halaman cukup. Cuma satu yang belum, baju baru buat lebaran. Sebagai manusia biasa yang namanya gengsi itu juga tetap ada sampai akhir hayat. Setidaknya sekedarlah gengsi punya satu baju yang beda dari yang dibawa pulang kampung tahun lalu. Untuk itulah dia gunakan uang THR nya itu untuk membeli baju baru. Disinilah perputaran itu terjadi. Uang THR lah yang membuat A membeli baju baru, celana baru, sarung baru, bahkan kalau masih cukup beli sepeda motor baru kalau ada yang cicilannya 50rb per bulan.. 😀

Sebenarnya ga sedikit orang bilang ga usahlah beli yang serba baru waktu lebaran. Lebaran itu yang penting hatinya yang baru. Bukan bajunya. Bahkan sampai ada lagunya. Tapi mereka yang berkata itu ga pernah berpikir bahwasanya uang THR yang selama ini dikeluarkan perusahaan tiap tahun menjelang Lebaran lah masalahnya. Seperti yang saya ungkapkan di cerita si A diatas.

Sekarang begini. Jika semua orang di Indonesia saja menuruti omongan ustadz, omongan kyai atau omongan siapa saja yang menganjurkan untuk tidak membeli baju baru ketika lebaran, siap-siap lah anda semua membeli baju melalui online. Karena bisa dipastikan mulai dari pabrik benang, pabrik kancing baju, pabrik resleting, pabrik sablon akan tutup setelah lebaran karena bangkrut. Kenapa? Karena uang darimana untuk membayar THR para karyawannya? 

Jadi intinya, marilah untuk lebaran tahun depan dan seterusnya, jangan menyuruh orang untuk tidak membeli barang-barang baru ketika lebaran. Kasihan mereka pengusaha ga punya uang untuk membayar THR. Kalaupun bisa bertahan pasti sudah kembang kempis itu dompetnya. Walaupun tujuan aslinya adalah untuk menyuruh orang menghindari boros, tapi cara yang paling bagus adalah : hapuskan THR dari muka bumi ibu pertiwi.

-Bond Chan-